RITTBKR: sebuah cinta yang tak terucap

Senja itu, aku memilih duduk di teras. Memandang hampa sudut temu langit pada bumi.
Hiruk pikuk sepekan ini telah reda. Hanya pembantu yang masih sibuk membersihkan dan menata ulang ruangan.

Anak-anak sedang istirahat dari kelelahan mereka.
Pekan ini telah begitu menguras air mata mereka, air mataku juga.
Ayah mereka telah pergi. Kembali ke Penciptanya.

Sedih, sunyi, kosong.
Tiba-tiba terdengar suara pembantu tepat di belakangku, “Bu, saya nemu kertas-kertas lagi!”
Kuambil kertas-kertas karton tak beraturan itu, “Darimana kamu dapat?”
“Di ruang tengah Bu, jadi ganjal-ganjal kursi.”

Aku tersenyum. Entah kali keberapa kami menemukan kertas atau benda dengan tulisan aneh di tempat yang tidak biasa di rumah ini.
Anak-anak dan pembantu sudah kuminta untuk menyerahkan padaku apabila menemukan benda-benda semacam itu.

Di atas meja, kutata kertas-kertas yang menyerupai puzzle itu.
Tidak terlalu sulit.
Gambar ‘rahasia’ itu pun terlihat jelas. Gambar jantung hati pink dengan kata ‘RITTBKR’ di tengahnya.

Kemarin, tetangga yang membantu menemukan gelas-gelas yang jarang kami pakai ditulisi dengan spidol.
Tepatnya ada tujuh gelas, berturut-turut dengan huruf-huruf ‘R’,’I’,’T’,’T’,’B’,’K’, dan ‘R’ di alasnya.

‘RITTBKR’ mungkin tidak berarti bagi orang lain, tetapi bagiku itu adalah ekspresi cinta.

Suamiku bukan orang yang romantis. Susah sekali baginya untuk memanggilku dengan kata “sayang”, atau mengucapkan “I love you”, atau memberi hadiah bunga mawar sebagaimana suami-suami yang lain.

Ia suka ngeyel. Alasannya, orang Banyumas seperti dia itu memang berbakat tidak romantis.
“I love you” katanya, kalau diterjemahkan dalam bahasa Banyumas menjadi “Inyong tuli tresna banget karo rika!”.
Dengan logat Banyumas, kalimat itu makin menjadi tidak romantis. Begitu eyelnya suatu ketika.

Maka ia tetap nekad sulit bilang “I love you” atau semacamnya.
Setiap didesak, ia memilih bilang, “Ya udah, RITTBKR ya!”
R adalah inisialku, I adalah ‘inyong’, bisa pula inisialnya, sementara sisanya adalah singkatan dari “tuli tresna banget karo rika”.
Tetap tidak romantis memang. Tapi itulah pasangan hidupku.

Lisannya mungkin sulit untuk romantis, tetapi kutahu jemarinya jauh lebih terampil berbicara cinta.
Acap kali kuminta ia untuk memijatku, ia mendahuluinya dengan menuliskan ‘RITTBKR’ dengan jarinya di punggungku.
Ia suka menyelipkan potongan kertas dengan tulisan “RITTBKR” di dalam tas kerjaku, di sela-sela buku kuliahku, atau di dalam sepatu dan kauskakiku.

“Ibu, ini ada kertas lagi,” angsur pembantuku.
‘RITTBKR’ tebakku. Oh bukan, tetapi tulisan “wolframalpha.com: polar r=(sin(t)*sqrt(abs(cos(t))))/(sin(t) + 7/5) -2*sin(t) + 2”.
Segera kuambil laptop, buka browser. Dan aku kembali tersenyum.
“Ya suamiku, I love you too,” ujarku lirih.

***

Hari-hari berikutnya adalah hari penemuan harta karun sandi-sandi cinta.
Putri sulungku menemukan tulisan “lovemedia.tumblr.com” di bawah termos.
Situs yang penuh gambar hati dan bayi lucu.

Anak keduaku menemukan tulisan “facebook/rittbkr”.
Kubuka, dan hanya kutemukan akun yang sepi, yang halaman pertamanya masih meminta untuk mengundang kontak emailnya menjadi teman di facebook.
Hanya satu status: “Facebook, kuhargai permintaanmu. Tetapi bagiku, teman hidupku cukuplah dia. RITTBKR.”
Aku tersenyum.

Si bungsu menemukan akun twitter, apalagi kalau bukan rittbkr.
Kali ini aku berkaca-kaca. Akun itu penuh dengan ungkapan-ungkapan cintanya yang penuh rahasia.
Meski tidak ada satu pun follower-nya, meski tidak ada yang mengikuti hashtag #rittbkr, meski tidak ada yang retweet (RT).
Kutahu hashtag-nya tidak akan pernah sekalipun menjadi ‘trending topics’ bagi twitter, tapi ia adalah ‘trending topics’ bagiku. Selamanya.

Tiba-tiba kusadar, ia telah merajalelakan cintanya melalui dunia maya.
Bergegas, browserku kuarahkan ke Google.
Sedikit berharap ‘RITTBKR’ menjadi Google Doodle, menggantikan logo asli Google.
Ah ternyata tidak. Aku tersenyum.
Kumasukkan ‘RITTBKR’ di kolom pencari.
Search!

Kata aneh semacam itu hanya memberikan beberapa hasil di Google.
Di Google Map, ada ‘RITTBKR’ di titik tempat kami menikah dahulu.
Di Youtube, kutemukan satu video ‘RITTBKR’. Tampak seorang lelaki yang ganteng tetapi konyol sedang berbusa-busa bicara cinta.
Aku tersenyum.

Di Flickr, kutemuka akun yang berisi gambar lelaki ganteng yang sama, sedang menuliskan “RITTBKR” di pasir pantai, membuat susunan tulisan “RITTBKR” dari ranting, dan foto-foto konyol serupa itu.
Ah, lelaki itu tidak menyerah juga dengan cintanya.

Terakhir, aku mencari di ebay.
Saat kutemukan ada orang yang menjual potongan kertas dengan “RITTBKR” di atasnya seharga $1000.
Ku-klik, muncul keterangan tentang tidak ada yang boleh membelinya kecuali seseorang sahaja.
Kutahu, itu diriku.

***

Selepas itu, tentu masih ada saja yang kutemukan.
Ia serasa masih bersamaku dan sedang bermain-main dengan harta karun cintanya “RITTBKR”.

Pada senja yang sama di teras yang sama, lima tahun berikutnya.
Seseorang tampak datang membawa surat, dari Australia.
Kubuka surat dalam bahasa Inggris itu, terjemahannya,

“Kami menemukan botol yang berisi kertas yang terbungkus plastik ini yang mengapung di dekat yacht kami.
Isinya tentu saja sesuatu yang kami yakin sangat berarti buatmu. Kami mengirimkannya kepadamu.
PS: Tampaknya isinya sesuatu yang amat romantis.”

Kubuka plastik itu, dan …
“RITTBKR, lihat, aku tidak menyerah bukan? ;-)
:7488257”


Socratic Problem: Sebuah Surat Cinta

Athena, suatu sore.

“Aku akan mengajarkan kalian sebuah hikmah!”
Dua murid Socrates menatap sang guru seiring titahnya terujar melalui angin.
Jubah sang guru terus berkelebat. Warnanya tampak suram menua demi menemani sang pemilik yang masih saja memilih selibat.

“Plato!” panggilnya perlahan. “Pergilah kau ke hutan kecil itu, pilihlah satu saja bunga yang kau anggap tercantik bagimu”
“Baik guru,” jawab Plato.
“Tetapi Plato, sekali kau pilih dan petik setangkai bunga, kau tak boleh lagi petik bunga lainnya, bagaimanapun cantiknya ia”
Plato mengangguk takzim.

Angin masih menderu seiring gegas Plato melangkah ke dalam hutan.
Pinggiran Athena itu tampak sunyi, saat Socrates dan seorang muridnya yang tersisa memilih diam merenung, menunggu Plato.

“Guru!” seruan Plato memecah hening.
“Aku tidak bisa mendapatkannya”, lanjutnya.
Socrates diam mendengar ketika Plato kembali melanjutkan, “Aku sudah berusaha mencarinya, tetapi setiap kali aku menemukan sebuah bunga yang cantik, aku tidak berani memetiknya. Aku pikir, aku akan dapat yang lebih cantik apabila aku masuk lebih dalam.”
“Sampai akhirnya aku sampai ke ujung hutan dan aku tak memetik bunga apapun”

“Begitulah muridku, itulah ibarat usaha manusia dalam mencari pasangan hidupnya” ujar Socrates bijak.
“Manusia takkan pernah berhenti mencari yang terbaik, mengikuti hasratnya untuk memiliki yang tak-seorang-pun-selainnya-

memilikinya-di-dunia,” lanjutnya.

“Apakah itu rahasia selibatmu itu, wahai guru?” tanya satu murid lainnya.
Socrates hanya tersenyum sembari balik bertanya, “Apakah engkau ingin masuk hutan pula, Imron?”
“Kalau engkau mengizinkan, guru”
“Pergilah!”

Diam, kembali menyergap saat Imron melangkah.
Socrates kembali memilih memejam. Sedangkan Plato memilih menggores-gores batu tulisnya. Kelak goresan-goresan itu akan disebut Σωκρατικὸς διάλογος (Dialog Sokratik), kumpulan tulisan dialog murid-murid Socrates dengan guru mereka.

“Guru, aku berhasil!” teriak Imron memecah sunyi.
Setangkai bunga cantik di tangannya tampak melambai. Bau harumnya tersebar bersama angin.
“Oh, bagaimana kau mendapatkannya?” sambut Socrates.
“Ketika masuk hutan, kutemukan bunga cantik ini,” terangnya, “Aku pikir aku bukanlah Plato, maka kuputuskan saja untuk merenung sejenak dan memohon ilham pada Tuhanku.”
“Keyakinan itu lalu datang begitu saja, kemudian kupetik bunga ini,” senyum Imron tampak cerah.

“Imron, apa nama bunga cantik ini?” tanya sang guru.
“Guru, penduduk Athena menyebutnya, Rifah. Ya, bunga Rifah Ediati,” jawab Imron berbinar.

Socrates tiba-tiba berdiri dari pokok kayu tempatnya duduk.
“Guru, engkau mau kemana?” tanya kedua muridnya bersamaan.

“Aku pun mau ke hutan ….”

Sendirinya Seorang Lelaki

Layar chat facebook itu tiba-tiba muncul.

“Mengapa tiba-tiba aku merasa sendiri?”, tertulis di layar.

Lelaki itu, tiga hari lagi akan menikah.
Sekarang, ia telah melewati langkah 27 tahun.
Dua, tiga tahun lampau hasrat menikahnya telah begitu menggelora.
Kini dalam hitungan jam, si Hafizh Qur’an itu akan memenuhinya.

“Ya, semua lelaki mengalaminya,” jawabku.

“Tapi, mengapa ada rasa semacam ini?”

Aku tersenyum, teringat rasa yang sama lima tahun silam.
“Lelaki pada mulanya hidup untuk sendiri.”
“Ia menyandar pada kekuatannya untuk menghempas semua tantangan, menakluk segala macam seteru.”
“Sampai sebuah ujung, ketika seluruh penantangnya terhempas, ia bertemu dengan makhluk baru… perempuan.”
“Hiruk pikuk pertempuran menghilang, puja-puji bak pahlawan menyingkir, lelaki itu harus menghadapinya… sendiri.”

“Beratkah?”

“Perempuan, tidak menginginkan engkau mengalahkannya. Ia menantangmu untuk memimpinnya, menuntutmu untuk membawa dirinya dan anak turunnya melewati batu-batu, tanjakan gelombang, tikungan tajam, menuju apa yang harus disebut sebagai ‘bahagia’.”

Lelaki itu terdiam. Ia, dalam tubuh kurusnya, sungguh lelaki yang keras. Bertahun, keluarganya, lingkungannya, dan teman-temannya telah mendidiknya dengan keras.

“Aku tiba-tiba ingin menangis..”

“Menangislah, itu aku akan melegakanmu..”

“Tapi, di sebelahku ada Irfan… ”

“Oh, ya jangan…”

Amplop Coklat: Sebuah Drama

Sore itu aku menemuinya di sebuah masjid kecil.
Kami berbincang di beranda masjid, menikmati semilir angin tepi kota Yogya, di samping rumahnya.

Di tanganku, ada amplop coklat.
Isinya biodata-ku sendiri, dilampiri dengan sesuatu yang oleh teman-temanku disebut “proposal”.

“Kau tahu? Teman-temanmu ada saja yang unik dalam urusan ini,” katanya.

“Misalnya?” tanyaku.

“Dalam keinginan misalnya. Ada yang menginginkan yang ‘cantik’.”
“Tapi kau tahu bukan? Mendefinisikan ‘cantik’ itu begitu sulit. Menurut siapa? Menurutku atau menurut temanku? Ini permintaan yang sulit buatku.”
“Ada lagi yang menginginkan ‘putih’. Aduh, bagaimana aku bisa tahu?”
“Bahkan, ada yang menginginkan ‘leher jenjang’..” keluhnya.

“Oh, ya?” tanggapku, pura-pura tidak tahu.

Aku tersenyum. Aku tahu persis sosok lelaki di hadapanku itu. Bertahun sudah ia kenyang melayani permintaan para bujangan. Konon, di gudangnya yang entah di mana ia menyimpan nama-nama perempuan shalihat yang siap menikah. Maka, kepadanyalah banyak bujangan berharap.

“Aku sering dituduh tidak kooperatif,” lanjutnya.
“Hanya karena aku dan teman-temanku tidak memfasilitasi permintaannya.”
“Ada yang ingin mendapat keluarga kaya, sedangkan ia tidak mampu, dan lalu kami khawatirkan soal kesekufuannya, kemudian ia membenci kami karena keputusan kami.”
“Ada yang sudah menyebutkan nama dalam permintaannya, yang membuat kami bertanya-tanya: “lha kami terus diminta ngapa?””
“Ada pula yang berbelas kali mengembalikan tawaran kami, membuat kami makin kebingungan.”

“Kami”, begitu katanya. Ya, karena memang ia tidak mengurusinya sendiri. Ia memusyawarahkannya dengan beberapa temannya yang ia percaya.
Aku hanya diam mengangguk. Ia tampak ingin bercerita lebih banyak.

“Padahal, kalau mereka enggan, mereka bisa mencarinya sendiri, tanpa lewat kami.”
“Kami hanya bisa melakukan yang terbaik yang kami bisa. Kami ikhlas. Kami tidak dibayar untuk ini.”
“Kepercayaan, cuma itu yang kami butuhkan.”
“Sedang kami percaya bahwa mereka yang telah dididik dengan nilai-nilai Islam itu sudah menggusur kecengengan mereka, dan menggantinya dengan tekad perjuangan.”

“Eh, bagaimana denganmu?” ia menepukku tiba-tiba.

Lalu dengan malu-malu, kuangsurkan amplop coklat itu, “Ini, ustadz..”

Ia kemudian tersenyum dan bertanya, “Kamu nggak seperti mereka kan?”

Aku cuma tersenyum, atau tepatnya, nyengir….

Lha, Biasanya Makan Apa?

Ia memutuskan menikah ketika masih mahasiswa.
Sebuah gabungan antara kenekatan dengan daya juang yang luar biasa.

Saat melamar, sang calon mertua tampak ragu-ragu dengan latar belakang dan penampilannya.
Ah tentu saja, sebagai orang tua, ia tidak akan serahkan masa depan anak gadisnya secara serampangan pada pemuda antah berantah itu.

Maka ia bertanya,
“Engkau belum lulus, pekerjaan pun belum jelas. Lalu dengan apa kau mau kasih makan anakku?”

Pemuda itu dengan gagahnya malah balik bertanya:
“Lha, biasanya makan apa Pak?”

Sang mertua tertawa.
Lalu, entah mengapa, ia tiba-tiba menjadi percaya pada sang pemuda.
Ia percaya bahwa bersama anak muda itu, anak gadisnya akan tetap makan…

Kijang Innova: Panjangnya sebuah Cinta

Menikah adalah sebuah jalan panjang. Amat panjang.
Dan pasangan muda itu tampak menikmatinya.

Mereka dulu menikah tanpa punya sesuatu apa.
Sampai suatu tekad, bahwa mereka akan menanggung segalanya bersama.
Atas nama cinta, mereka kumpulkan -setiap hari- receh-receh kecil yang mereka punya.
Mereka kumpulkan dalam sebuah celengan. Mereka sebut itu celengan cinta.
Karena, setiap kali ada receh masuk, mereka akan saling berkata: aku mencintaimu.

Dan mereka punya cita-cita sederhana: ingin memiliki sepeda.

Cinta mereka begitu sungguh-sungguh. Dua tahun berlalu celengan cinta mereka penuh.

Mereka membeli sepeda. Mereka sebut itu: sepeda cinta.

Tekad, kembali lahir dari cinta mereka. Kali ini mereka tancapkan: sepeda motor.

Mereka bukan membenci sepeda, tetapi bagaimanapun sepeda tetaplah sepeda.
Sepeda membuat bermesra-mesra ataupun bersilangkata di atasnya menjadi pekerjaan yang sungguh sangat melelahkan.
Mulut capai, kaki lemas.

Di atas sepeda cinta itu, cinta berubah menjadi pegal.

Tetapi sepeda motor bukanlah sepeda onthel, dan itu artinya mereka harus saling mencintai lebih lama.

Karena itu, kembali kata-kata cinta itu menemani hari-hari mereka.
Setahun, celengan cinta mereka penuh.
Tapi tentu tak ada sepeda motor yang terbeli dengan dua juta rupiah bukan?
Apa lagi selalu saja ada model baru. Dan itu selalu berarti harga yang lebih tinggi.
Untuk itu, mereka menambah celengan cinta mereka itu.

Lima tahun berlalu.
Kesungguhan cinta mereka tampak luar biasa.
Maka ujungnya adalah mesra, saat sang istri menggelayut di boncengan Honda Supra.
Tapi mereka lebih suka menyebutnya: Honda Cinta.
Itu tanda tujuh tahun cinta mereka.

Ah, tapi kau pun tahu bukan?
Di musim hujan, bermesra-mesra di atas Honda Supra itu berbahaya.
Terlalu mesra, sepeda motor bisa terpeleset celaka.
Di musim panas, bersilangkata sembari mengendarainya adalah bencana.
Ini adalah panas yang bertemu panas. Jadinya: amat panas.

Dan itu namanya cinta yang tergadai cuaca.

Tapi cinta tetaplah cinta.
Celengan-celengan cinta itu terus saja menambah teman-temannya.
Receh-receh rupiah rutin bersekutu.
Sedang kata-kata cinta terus mengalir menuju muara.

Maka untuk sebuah cinta yang lebih kekal dan panjang,
mereka sekarang menancap sebuah tekad baru:
“Kijang Innova!!”

Lamaranmu Kutolak!

Mereka, lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya.
Melalui ta’aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk melanjutkannya menuju khitbah.

Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang perempuan.
Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang sekarang amatlah berbeda.

Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka menggenapkan agamanya.

Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk ‘merebut’ sang perempuan muda, dari sisinya.

“Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?” tanya sang setengah baya.
“Iya, Pak,” jawab sang muda.

“Engkau telah mengenalnya dalam-dalam?” tanya sang setengah baya sambil menunjuk si perempuan.
“Ya Pak, sangat mengenalnya,” jawab sang muda, mencoba meyakinkan.
“Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!” balas sang setengah baya.
Si pemuda tergagap, “Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu.”
“Lamaranmu kutolak. Itu serasa ‘membeli kucing dalam karung’ kan, aku takmau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?” balas sang setengah baya, keras.

Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki muda. Bisiknya, “Ayah, dia dulu aktivis lho.”

“Kamu dulu aktivis ya?” tanya sang setengah baya.
“Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di Kampus,” jawab sang muda, percaya diri.
“Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?”
“Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang nggak datang kalau saya suruh berangkat.”
“Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok mau ngatur keluargamu?”

Sang perempuan membisik lagi, membantu, “Ayah, dia pinter lho.”
“Kamu lulusan mana?”
“Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM ini tho? Menganggap saya bodoh kan?”
“Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak.”
“Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?”

Bisikan itu datang lagi, “Ayah dia sudah bekerja lho.”
“Jadi kamu sudah bekerja?”
“Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera jualan produk saya Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu.”
“Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak terlalu laku.”
“Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?”

Bisikan kembali, “Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya.”
“Rencananya maharmu apa?”
“Seperangkat alat shalat Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf.”
“Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku.”

Bisikan, “Dia jago IT lho Pak”
“Kamu bisa apa itu, internet?”
“Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net.”
“Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata.”
“Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter, Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu.”

Bisikan, “Tapi Ayah…”
“Kamu kesini tadi naik apa?”
“Mobil Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya Riya’. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik.”
“Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir”
“Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini namanya payah. Memangnya anakku supir?”

Bisikan, “Ayahh..”
“Kamu merasa ganteng ya?”
“Nggak Pak. Biasa saja kok”
“Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini.”
“Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!”

Sang perempuan kini berkaca-kaca, “Ayah, tak bisakah engkau tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?”
Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah.
“Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur’an dan Hadits?”
Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga.
Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, “Pak, dari tiga puluh juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja. Hadits-pun cuma dari Arba’in yang terpendek pula.”
Sang setengah baya tersenyum, “Lamaranmu kuterima anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku masih tertatih.”
Mata sang muda ikut berkaca-kaca.

Ini harus happy ending, bukan?
:)

Mencintai dengan Cara PKS

Lelaki dan perempuan itu tampak duduk berdua di sebuah kursi.
Jemari mereka tampak saling berjalin. Mesra.

Maret 2009. Ini hari-hari yang gegap gempita bagi Indonesia. Musim obral janji.
Tapi bagi mereka berdua, ini adalah hari-hari yang penuh romansa. Musim madu cinta.

Ini adalah minggu pertama pernikahan mereka.
Tanpa mereka saling mengenal dalam sebelumnya, ini adalah hari-hari saling bercerita.
Menyatukan rasa, memadukan paham. Dan hari ini, mereka sedang bicara tentang cinta.
Tepatnya tentang bagaimana cara mencintai.

“Aku ingin engkau mencintaiku dengan cara PKS!” ujar sang istri, tiba-tiba.
Sang lelaki terkejut, “Mengapa? Bagaimana?” tanyanya heran.

“Pertama, aku ingin engkau mencintaiku dengan bersih,” lanjut sang istri.
“Maksudnya?” tanya si lelaki.

“Engkau harus mencintaiku semata-mata karena Allah, bukan karena harta atau wajahku.”
“Cintamu padaku haruslah bersih, tidak engkau kotori dengan cinta terhadap perempuan lain, kecuali pada ibumu.”

“Ya,” respon sang suami.

“Kemudian kedua, aku ingin engkau mencintaiku dengan penuh peduli,” lanjut sang istri.

“Maknanya?”

“Engkau harus peduli dengan perasaanku, dan memahami rasa batinku,” lanjutnya.
“Engkau mendengarkan saat aku ingin bercerita, engkau berempati saat aku merasa sakit.”
“Engkau pun harus menumbuhkan benih-benih dan menjaga tumbuhnya cinta kita berdua dengan penuh romantisme.”

“Insya Allah,” jawab sang suami.

“Selanjutnya ketiga, aku ingin engkau mencintaiku dengan profesional,” lanjut sang istri.

“Artinya?”

“Engkau harus tahu ilmu mengelola keluarga dan terampil menjalankannya.”
“Dan engkau pun harus disiplin didalam memimpin dan mendidik keluargamu.”

“Baiklah,” jawab sang suami.

“Tetapi,” tambah sang istri, “Engkau haruslah menjadi bagian dari Golkar!”

“Tidak cukupkah PKS sehingga aku pun harus Golkar pula?” tanya sang suami, heran.

“Ya, kamu harus bekerja. Kalau engkau pengangguran, mau kau kau kasih makan apa keluargamu ini?”
“Tetapi bekerjamu harus menghasilkan harta yang bersih, yang sah dan halal, yang kau lakukan sebagai bentuk pedulimu kepada keluargamu, dan engkau laksanakan secara sungguh-sungguh dan profesional.”

“Ohh begitu.. baiklah,” angguk sang suami pelan.

Cinta yang Rumit itu Cinta yang Sederhana

Istri: “Sayangku, engkau tahu sakitku. Takkan mungkin lagi bagiku tuk lahirkan anak keturunanmu.”
“Aku mencintaimu, karena itu kumohon padamu untuk menikah lagi.”
“Semoga dengannya Allah memperpanjang generasi shaleh yang akan mendoakanmu.”
“Anak adalah amal yang pahalanya takkan terputus.”

Suami: “Tidak sayangku. Aku mencintaimu, aku tak akan menikah lagi.”
“Kan kuperbanyak amal jariyahku, kan kutebar ilmuku. Itu cukup bagiku.”
“Allah telah menjanjikannya, dan Ia tak pernah ingkar dengan janjinya.”

Istri: “Sayangku, tapi sakitku telah amat berat. Aku tak sanggup lagi merawatmu dan melayanimu.”
“Sedang kupaham akan semua kebutuhan manusiawimu.”
“Aku mencintaimu, maka kumohon padamu tuk menikah lagi. Itu akan baik bagimu”

Suami: “Tidak sayangku. Aku bersedia merawatmu hingga sehat badanmu”
“Dan hingga kembalinya dirimu ke rumah.”
“Aku mencintaimu, aku tak akan menikah lagi.”
“Aku tak cukup mampu membagi keadilanku. Dan puasa telah membantu kesabaranku”

Istri: “Sayangku, kalau keadilan menjadi masalahmu, ceraikanlah saja diriku.”
“Kembalikan aku pada orangtuaku, dan sungguh mereka amat mencintaiku juga.”
“Aku mencintaimu, aku ingin membebaskanmu dari beban diriku.”

Suami: “Tidak sayangku. Aku tak kan pernah menceraikanmu. Cukup bagiku mencintaimu.”
“Tidaklah engkau menjadi bebanku, karena keadaanmulah yang menjadikanku kuat dan berani.”

Istri: “Kalau begitu, jika -dengan izin Allah- aku meninggal kelak, engkau harus segera menikah.”
“Aku mencintaimu. Aku ingin ada yang merawat dan melayanimu kelak sepeninggalku.”

Suami: “Tidak sayangku, aku merasa cukup dengan mencintaimu.”
“Aku cukup besar untuk merawat diriku sendiri.”
“Dan aku bersabar dengan sadar akan pilihanku ini.”
“Aku mencintaimu, dan Aku ingin kembali bersamamu kelak di surga-Nya.”

Istri: “Oh sayangku, semoga Allah memberikan kepadamu surga-Nya yang tertinggi….”
“… beserta sungai-sungai yang mengalir di bawahnya,”
“… tanaman berbuah ranum yang tumbuh di atasnya,”
“… dan para bidadari yang berada di dalamnya.”

Suami: “Terima kasih sayangku. Tentang sungai dan buah itu kan kuterima.”
“Tapi tentang bidadari, kan kumohon kepada Tuhanku untuk diberikan saja…”
“… kepada penghuni surga yang masih bujangan di dunianya.”
“Kucukupkan saja denganmu di surga, karena aku mencintaimu.”

………

Sapardi Djoko Damono:
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu.”

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”

Mbah Geek: Konsultan Jodoh

Pemuda itu telah masuk masanya.
Ia pemuda yang biasa saja. Gagah, tapi tak cukup kaya.
Tapi, hasratnya untuk menikah telah menggelora.
Pilihan tersedia, tapi kemantapan belum ada.

Ia butuh pandu, dan ia tahu kemana ia harus menuju.
Mbah Geek.

“Mbah, saya mau menikah, dan saya mohon petunjuk Simbah,” pinta sang pemuda, takzim.
Mbah Geek tersenyum,”Bertanyalah cucuku…”

“Mbah saya ingin menikah, tapi saya ingin calon istri saya si cantik Mac OS X. Bagaimana menurut Mbah?” tanya sang muda.

“Cu, secara bobot Mac OS X itu memang baik lagi cantik. Dari sisi bibit, bagus. Kamu kan tahu siapa Apple itu. Bapaknya berkualitas, anak turunnya cantik dan handal.” terang si Mbah.
“Tapi Cu,” lanjut Mbah Geek, “Bebetnya ndak pas. Lihat teman-temannya, cuma orang yang necis-necis saja. Kamu harus cukup gaya dan punya modal besar untuknya.”
“Dan kamu tahu kan, kalau untuk menikahinya tidak hanya cukup mahar, tapi kamu harus belikan sekaligus rumah keren yang ia pilih sendiri…”

“Kalau begitu Mbah, bagaimana kalau saya pilih Vista saja?” sang muda, menawar.

“Bah! Kamu mau pilih jodoh kayak gitu? OK lah bibitnya terjamin, Bapaknya si Microsoft itu kaya. Bebetnya tidak masalah, teman-temannya sepadan denganmu.”
“Tapi lihat dong tampilannya. Cuma gincu belaka. Dia bisanya cuma niru-niru dandanannya si Mac itu!”
“Lagipula dia lelet, lambat, dan sedikit bego.” kritik si Mbah, tajam.

Kini sang pemuda bingung, “Lalu Mbah, siapa yang harus saya pilih?”

Si Mbah manggut-manggut, terdiam sejenak.
“Bagaimana kalau Linux?”
“Ia cantik, mandiri, cepat, juga trengginas. Untuk bobot yang ini, simbah angkat jempol.”
“Ia pun mengikuti sunnah, maharnya murah. Sisi bebetnya, kulihat temannya adalah orang-orang yang meski sederhana, tapi mereka umumnya cerdas,” jelas si Mbah.
“Tapi….”

“Tapi apa Mbah?” tanya sang pemuda, khawatir.

“Semua orang tahu kalau Linux itu open source…”
“Bapaknya banyak…”