Tapi Engkau Tidak: Surat seorang Istri, November 1945

Ingatkah engkau saat aku merusakkan sepeda tua kekayaan kita itu?
Kusangka engkau akan memarahiku
Tapi engkau tidak

Ingatkah engkau saat aku mencelamu karena kemiskinan kita?
Kusangka engkau akan membenciku
Tapi engkau tidak

Ingatkah engkau saat aku mengataimu karena rasa cemburuku?
Kusangka engkau akan meninggalkanku
Tapi engkau tidak

Ada banyak hal indah yang telah engkau lakukan untukku
untuk kebahagiaanku, karena cintamu padaku
Karena itu ada banyak yang ingin kuceritakan padamu
saat engkau pulang dari penyerbuan ke benteng Jepang itu

Tapi engkau tidak

–adaptasi bebas dari “But you didn’t” (Merrill Glass)

Ta’adud… Dud…

…………
…………

Suami: Tapi bagaimanapun ta’adud itu kan sunnah Nabi
Istri: Kamu beneran pengin ikuti sunnah Nabi-mu?

Suami: mmm… mestinya…
Istri: Nabi itu baru ta’adud setelah Khadijah -istri pertamanya- meninggal.

Suami: Maksudmu?
Istri: Ta’adudmu tunda dulu sampai aku dud*…

Suami: ……

…………
…………

*[atau baca: langkahi dulu mayatku]

Jujur itu (tidak?) selalu indah

Sepasang suami istri itu bergandengan mesra ke peraduan.
Bertahun mereka menikah, kini saat anak-anak besar, mereka menemukan kembali kebahagiaan masa muda mereka.

Tiba-tiba sang istri mendekat ke cermin besar di sudut kamar. Menatap bayang wajahnya dengan dalam.
“Tahukah sayang,” katanya, “Aku menatap cermin dan aku melihat seorang wanita tua di dalamnya. Wajahku mulai keriput, rambutku mulai beruban, kulitku kendor, dan tubuhku makin gemuk.”

Lalu ia berbalik menatap sang suami, “Sayang, ayolah berikan aku pujian yang bisa membuatku senang.”

Sang suami terdiam dan berpikir sejenak, sebelum akhirnya dengan lembut dan kalem, “Sayangku, percayalah bahwa matamu masih tajam dan penglihatanmu memang benar.”

— lalu sebuah tendangan kecil mampir di betis sang suami —

Mengapa ‘mengapa’ itu bisa menjadi begitu rumit

ANAK: Ayah, apakah engkau sedang di kamar mandi?
AYAH: Ya, ayah sedang mandi.

ANAK: Mengapa?
AYAH: Badan ayah kotor. Mandi itu membuat badan ayah bersih.

ANAK: Mengapa?
AYAH: Mengapa mandi membuat ayah jadi bersih?
ANAK: Ya.
AYAH: Karena saat menggunakan sabun, air akan membersihkan kotoran pada tubuh ayah.

ANAK: Mengapa?
AYAH: Mengapa ayah menggunakan sabun?
ANAK: Ya.
AYAH: Karena sabun akan menangkap kotoran dan dengan itu akan mudah dibersihkan dengan air.

ANAK: Mengapa?
AYAH: Mengapa sabun menangkap kotoran?
ANAK: Ya.
AYAH: Karena sabun adalah surfaktan.

ANAK: Mengapa?
AYAH: Mengapa sabun itu surfaktan?
ANAK: Ya.
AYAH: Pertanyaan yang BAGUS Nak. Sabun adalah surfaktan karena sabun akan membentuk misel yang larut dalam air yang dapat memerangkap kotoran tak larut dan partikel minyak.

ANAK: Mengapa?
AYAH: Mengapa sabun membentuk misel?
ANAK: Ya.
AYAH: Molekul sabun itu berwujud rantai panjang dengan ujung kepala hidrofilik yang polar, dan memiliki ekor hidrofobik yang non-polar. Dapatkah kamu mengatakan ‘hidrofilik’?
ANAK: Iidlopilik

AYAH: Dan bisakah kamu mengucapkan ‘hidrofobik’?
ANAK: Iidlopoobik
AYAH: Bagus! ‘Hidrofobik’ artinya bahwa ia membenci air.

ANAK: Mengapa?
AYAH: Mengapa dia artinya begitu?
ANAK: Ya.
AYAH: Itu bahasa Yunani! ‘Hidro’ itu artinya air dan ‘fobia’ artinya ‘takut pada sesuatu’. ‘Phobos’ artinya ketakutan. Jadi ‘hidrofobik’ artinya ‘takut air’.

ANAK: Seperti monster?
AYAH: Maksudmu, seperti takut pada monster?
ANAK: Ya.
AYAH: Ya, ia seperti monster yang mengerikan. Jika kamu takut monster, orang Yunani akan memanggilmu gorgofobik.
(diam)

ANAK: (memutar matanya) Bukankah kita sedang berbicara tentang sabun.
AYAH: Ya. Kita memang kita sedang berbicara tentang sabun.
(kembali terdiam)

ANAK: Mengapa?
AYAH: Mengapa molekul memiliki kepala hidrofilik dan ekor hidrofobik?
SARAH: Ya.
AYAH: Karena ikatan C-O di kepala molekul itu sangat polar, dan ikatan C-H bersifat non-polar.

ANAK: Mengapa?
AYAH: Karena karbon dan hidrogen memiliki elektronegativitas yang hampir sama, sedangkan oksigen jauh lebih elektronegatif, sehingga memolarisasi ikatan C-O.

ANAK: Mengapa?
AYAH: Mengapa oksigen lebih elektronegatif daripada karbon dan hidrogen?
ANAK: Ya.
AYAH: Itu rumit. Ada jawaban berbeda untuk pertanyaan itu, tergantung pada apakah engkau sedang berbicara tentang skala elektronegativitas Pauling atau skala Mulliken. Skala Pauling didasarkan pada perbedaan kekuatan ikatan homonuklir melawan heteronuklir, sedangkan skala Mulliken didasarkan pada sifat-sifat atom dari afinitas elektron dan energi ionisasi. Tetapi semuanya bermuara pada muatan efektif inti. Elektron valensi dalam sebuah atom oksigen memiliki energi yang lebih rendah daripada atom karbon, dan elektron di antara mereka terikat lebih erat pada oksigen, karena elektron dalam atom oksigen memiliki muatan inti yang lebih besar dan karena itu memiliki daya tarik yang lebih kuat ke inti atom! Cool, kan?

(diam)
ANAK: Aku tidak mengerti.
AYAH: Tidak apa-apa, Nak. Demikian pula sebagian besar mahasiswa ayah.

Terjemahan bebas dari: http://goo.gl/eBcv

RITTBKR: sebuah cinta yang tak terucap

Senja itu, aku memilih duduk di teras. Memandang hampa sudut temu langit pada bumi.
Hiruk pikuk sepekan ini telah reda. Hanya pembantu yang masih sibuk membersihkan dan menata ulang ruangan.

Anak-anak sedang istirahat dari kelelahan mereka.
Pekan ini telah begitu menguras air mata mereka, air mataku juga.
Ayah mereka telah pergi. Kembali ke Penciptanya.

Sedih, sunyi, kosong.
Tiba-tiba terdengar suara pembantu tepat di belakangku, “Bu, saya nemu kertas-kertas lagi!”
Kuambil kertas-kertas karton tak beraturan itu, “Darimana kamu dapat?”
“Di ruang tengah Bu, jadi ganjal-ganjal kursi.”

Aku tersenyum. Entah kali keberapa kami menemukan kertas atau benda dengan tulisan aneh di tempat yang tidak biasa di rumah ini.
Anak-anak dan pembantu sudah kuminta untuk menyerahkan padaku apabila menemukan benda-benda semacam itu.

Di atas meja, kutata kertas-kertas yang menyerupai puzzle itu.
Tidak terlalu sulit.
Gambar ‘rahasia’ itu pun terlihat jelas. Gambar jantung hati pink dengan kata ‘RITTBKR’ di tengahnya.

Kemarin, tetangga yang membantu menemukan gelas-gelas yang jarang kami pakai ditulisi dengan spidol.
Tepatnya ada tujuh gelas, berturut-turut dengan huruf-huruf ‘R’,’I’,’T’,’T’,’B’,’K’, dan ‘R’ di alasnya.

‘RITTBKR’ mungkin tidak berarti bagi orang lain, tetapi bagiku itu adalah ekspresi cinta.

Suamiku bukan orang yang romantis. Susah sekali baginya untuk memanggilku dengan kata “sayang”, atau mengucapkan “I love you”, atau memberi hadiah bunga mawar sebagaimana suami-suami yang lain.

Ia suka ngeyel. Alasannya, orang Banyumas seperti dia itu memang berbakat tidak romantis.
“I love you” katanya, kalau diterjemahkan dalam bahasa Banyumas menjadi “Inyong tuli tresna banget karo rika!”.
Dengan logat Banyumas, kalimat itu makin menjadi tidak romantis. Begitu eyelnya suatu ketika.

Maka ia tetap nekad sulit bilang “I love you” atau semacamnya.
Setiap didesak, ia memilih bilang, “Ya udah, RITTBKR ya!”
R adalah inisialku, I adalah ‘inyong’, bisa pula inisialnya, sementara sisanya adalah singkatan dari “tuli tresna banget karo rika”.
Tetap tidak romantis memang. Tapi itulah pasangan hidupku.

Lisannya mungkin sulit untuk romantis, tetapi kutahu jemarinya jauh lebih terampil berbicara cinta.
Acap kali kuminta ia untuk memijatku, ia mendahuluinya dengan menuliskan ‘RITTBKR’ dengan jarinya di punggungku.
Ia suka menyelipkan potongan kertas dengan tulisan “RITTBKR” di dalam tas kerjaku, di sela-sela buku kuliahku, atau di dalam sepatu dan kauskakiku.

“Ibu, ini ada kertas lagi,” angsur pembantuku.
‘RITTBKR’ tebakku. Oh bukan, tetapi tulisan “wolframalpha.com: polar r=(sin(t)*sqrt(abs(cos(t))))/(sin(t) + 7/5) -2*sin(t) + 2”.
Segera kuambil laptop, buka browser. Dan aku kembali tersenyum.
“Ya suamiku, I love you too,” ujarku lirih.

***

Hari-hari berikutnya adalah hari penemuan harta karun sandi-sandi cinta.
Putri sulungku menemukan tulisan “lovemedia.tumblr.com” di bawah termos.
Situs yang penuh gambar hati dan bayi lucu.

Anak keduaku menemukan tulisan “facebook/rittbkr”.
Kubuka, dan hanya kutemukan akun yang sepi, yang halaman pertamanya masih meminta untuk mengundang kontak emailnya menjadi teman di facebook.
Hanya satu status: “Facebook, kuhargai permintaanmu. Tetapi bagiku, teman hidupku cukuplah dia. RITTBKR.”
Aku tersenyum.

Si bungsu menemukan akun twitter, apalagi kalau bukan rittbkr.
Kali ini aku berkaca-kaca. Akun itu penuh dengan ungkapan-ungkapan cintanya yang penuh rahasia.
Meski tidak ada satu pun follower-nya, meski tidak ada yang mengikuti hashtag #rittbkr, meski tidak ada yang retweet (RT).
Kutahu hashtag-nya tidak akan pernah sekalipun menjadi ‘trending topics’ bagi twitter, tapi ia adalah ‘trending topics’ bagiku. Selamanya.

Tiba-tiba kusadar, ia telah merajalelakan cintanya melalui dunia maya.
Bergegas, browserku kuarahkan ke Google.
Sedikit berharap ‘RITTBKR’ menjadi Google Doodle, menggantikan logo asli Google.
Ah ternyata tidak. Aku tersenyum.
Kumasukkan ‘RITTBKR’ di kolom pencari.
Search!

Kata aneh semacam itu hanya memberikan beberapa hasil di Google.
Di Google Map, ada ‘RITTBKR’ di titik tempat kami menikah dahulu.
Di Youtube, kutemukan satu video ‘RITTBKR’. Tampak seorang lelaki yang ganteng tetapi konyol sedang berbusa-busa bicara cinta.
Aku tersenyum.

Di Flickr, kutemuka akun yang berisi gambar lelaki ganteng yang sama, sedang menuliskan “RITTBKR” di pasir pantai, membuat susunan tulisan “RITTBKR” dari ranting, dan foto-foto konyol serupa itu.
Ah, lelaki itu tidak menyerah juga dengan cintanya.

Terakhir, aku mencari di ebay.
Saat kutemukan ada orang yang menjual potongan kertas dengan “RITTBKR” di atasnya seharga $1000.
Ku-klik, muncul keterangan tentang tidak ada yang boleh membelinya kecuali seseorang sahaja.
Kutahu, itu diriku.

***

Selepas itu, tentu masih ada saja yang kutemukan.
Ia serasa masih bersamaku dan sedang bermain-main dengan harta karun cintanya “RITTBKR”.

Pada senja yang sama di teras yang sama, lima tahun berikutnya.
Seseorang tampak datang membawa surat, dari Australia.
Kubuka surat dalam bahasa Inggris itu, terjemahannya,

“Kami menemukan botol yang berisi kertas yang terbungkus plastik ini yang mengapung di dekat yacht kami.
Isinya tentu saja sesuatu yang kami yakin sangat berarti buatmu. Kami mengirimkannya kepadamu.
PS: Tampaknya isinya sesuatu yang amat romantis.”

Kubuka plastik itu, dan …
“RITTBKR, lihat, aku tidak menyerah bukan? ;-)
:7488257”


Tidak Ada Jenderal Di Depan Isteri…

oleh Abdullah Haidir

“Bukankah engkau mengaku sebagai utusan Allah..?” kata Aisyah kepada Rasulullah saw penuh cemburu, suatu saat dalam sebuah perjalanan. Pasalnya, Rasulullah saw meminta agar barang-barang yang sedikit di ontanya ditukar dengan barang-barang yang banyak di onta Shafiah (Isteri Rasullah saw lainnya). Karena onta Aisyah gagah sedangkan onta Shafiah lambat. Demikian Al-Haitsami meriwayatkannya dalam kitabnya, Majma Az-Zawaid.

Ada pelajaran berharga dari cuplikan ‘pernak pernik’ rumah tanggal Rasulullah saw di atas.Yaitu bahwa pasangan suami isteri memiliki pola komunikasi yang khas. Kekhasan yang apabila dikelola dengan bijak dapat menjadi kehangatan hidup berumah tangga.

Ucapan Aisyah radhiallahu anha di atas, jika dilihat dari sudut pandang aqidah, jelas sangat bermasalah, karena dapat dipahami meragukan kerasulan Nabi saw. Namun, tidak demikian halnya jika dilihat dari kekhasan pola komunikasi suami isteri. Yang tampak justeru emosi cinta yang terungkap secara verbal dan refleks melampaui batas-batas pemahaman normatif. Karenanya, menyikapi hal tersebut, Rasulullah saw hanya tersenyum, bahkan ketika Abu Bakar hendak menegurnya, beliau memintanya untuk membiarkannya, sambil berkata, ‘Sesungguhnya, sifat cemburunya membuat dia tidak dapat melihat dasar lembah dari ketinggian.’

Di antara bentuk komunikasi suami isteri yang sehat adalah manakala komunikasinya telah bersifat lepas, tidak ‘anggah ungguh’, serta tidak terbelenggu oleh simbol dan kedudukan yang ada pada masing-masing pasangan. Tentu saja, setelah hak dan kewajibannya telah dipahami masing-masing.

Pola komunikasi seperti ini, hanya dapat terwujud jika masing-masing pasangan memainkan perannya secara total dalam kehidupan rumah tangga. Namun hal tersebut bukan sesuatu yang dapat terwujud karena pandai berakting ala bintang film yang justeru banyak gagal dalam kehidupan rumah tangga sesungguhnya, tapi yang dibutuhkan adalah ketulusan cinta dan perasaan saling memiliki.

Maka, seorang isteri, walaupun misalnya dia memiliki jabatan terhormat, namun di rumah, jika komunikasi khas tersebut sudah terbentuk, sang suami bisa dengan santainya berkata, ‘Ma, buatkan teh untuk papa dong…’ Atau, seorang jenderal yang diluar begitu ditakuti bawahannya, di rumah, boleh jadi sang isteri dengan enteng mengomelinya karena pulang kemalaman. Karenanya…. ‘Tidak ada jenderal di depan isteri…..’

Jika banyak bujangan atau gadis yang sedang ‘mencari-cari’ mengangankan calon pendampingnya dengan sederet status dan simbol kehidupan. Maka, ketika sudah berkeluarga, justeru itulah yang sering menjadi kendala dalam membangun komunikasi hangat antar suami isteri. Tidak jarang kehangatan komunikasi itu terganggu, karena status dan simbol-simbol tersebut masih mendominasi atmosfer komunikasi di antara mereka. Justeru ketika itu, yang paling diinginkan suami adalah seorang isteri yang bertindak sebagai ‘isteri’, bukan sebagai dokter, guru, lulusan universitas ternama, anak orang kaya, dll. Begitu pula yang diinginkan isteri dari suaminya.

Suatu saat, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ada seseorang yang ingin mengadukan kepada sang Khalifah tentang sikap isterinya yang suka mengomelinya. Namun setibanya di dekat rumah sang Khalifah, dia mengurungkan niatnya. Apa pasal? Rupanya dari dalam rumah Khalifah, dia mendengar sang isteri sedang memarahi Khalifah. ‘Kalau khalifah saja dimarahi isterinya, apalagi saya…’ pikirnya…

Jika dari ‘omelan’ bisa berbuah kehangatan dalam rumah tangga, apalagi canda tawanya….. ya Allah, kumpulkan kami di surga sebagaimana kami dikumpulkan di dunia.

Riyadh, Jumadal Ula 1431H.

Pertempuran

— untuk haidar

bintik-bintik kecil itu memang ingin menemanimu
mereka hadir di kaki kecilmu, menyela di lipatan tanganmu
bertahta di punggungmu, menandai wajah lucumu

kutahu gelisah menyakiti tidurmu
menghapus mimpi-mimpi besarmu itu

kau menangis, aku tahu
aku juga
tapi kau tak mau tangisku bukan?

panas itu,
itu dari dirimu bukan?
bukan dari matahari, karena kaulah matahari

ah kulihat genggaman tangan kecilmu
juga kakimu yang menjejak-jejak
merah-merah memecah
pertempuran menggaris tubuh
darahmu mengalir mengular mendenguskan nafasmu menajamkan matamu mengencangkan teriakanmu melajukan kakimu menggemeretukkan gigi-gigimu

kutahu, engkau menang!

riyadh, 26 mei 2009

Socratic Problem: Sebuah Surat Cinta

Athena, suatu sore.

“Aku akan mengajarkan kalian sebuah hikmah!”
Dua murid Socrates menatap sang guru seiring titahnya terujar melalui angin.
Jubah sang guru terus berkelebat. Warnanya tampak suram menua demi menemani sang pemilik yang masih saja memilih selibat.

“Plato!” panggilnya perlahan. “Pergilah kau ke hutan kecil itu, pilihlah satu saja bunga yang kau anggap tercantik bagimu”
“Baik guru,” jawab Plato.
“Tetapi Plato, sekali kau pilih dan petik setangkai bunga, kau tak boleh lagi petik bunga lainnya, bagaimanapun cantiknya ia”
Plato mengangguk takzim.

Angin masih menderu seiring gegas Plato melangkah ke dalam hutan.
Pinggiran Athena itu tampak sunyi, saat Socrates dan seorang muridnya yang tersisa memilih diam merenung, menunggu Plato.

“Guru!” seruan Plato memecah hening.
“Aku tidak bisa mendapatkannya”, lanjutnya.
Socrates diam mendengar ketika Plato kembali melanjutkan, “Aku sudah berusaha mencarinya, tetapi setiap kali aku menemukan sebuah bunga yang cantik, aku tidak berani memetiknya. Aku pikir, aku akan dapat yang lebih cantik apabila aku masuk lebih dalam.”
“Sampai akhirnya aku sampai ke ujung hutan dan aku tak memetik bunga apapun”

“Begitulah muridku, itulah ibarat usaha manusia dalam mencari pasangan hidupnya” ujar Socrates bijak.
“Manusia takkan pernah berhenti mencari yang terbaik, mengikuti hasratnya untuk memiliki yang tak-seorang-pun-selainnya-

memilikinya-di-dunia,” lanjutnya.

“Apakah itu rahasia selibatmu itu, wahai guru?” tanya satu murid lainnya.
Socrates hanya tersenyum sembari balik bertanya, “Apakah engkau ingin masuk hutan pula, Imron?”
“Kalau engkau mengizinkan, guru”
“Pergilah!”

Diam, kembali menyergap saat Imron melangkah.
Socrates kembali memilih memejam. Sedangkan Plato memilih menggores-gores batu tulisnya. Kelak goresan-goresan itu akan disebut Σωκρατικὸς διάλογος (Dialog Sokratik), kumpulan tulisan dialog murid-murid Socrates dengan guru mereka.

“Guru, aku berhasil!” teriak Imron memecah sunyi.
Setangkai bunga cantik di tangannya tampak melambai. Bau harumnya tersebar bersama angin.
“Oh, bagaimana kau mendapatkannya?” sambut Socrates.
“Ketika masuk hutan, kutemukan bunga cantik ini,” terangnya, “Aku pikir aku bukanlah Plato, maka kuputuskan saja untuk merenung sejenak dan memohon ilham pada Tuhanku.”
“Keyakinan itu lalu datang begitu saja, kemudian kupetik bunga ini,” senyum Imron tampak cerah.

“Imron, apa nama bunga cantik ini?” tanya sang guru.
“Guru, penduduk Athena menyebutnya, Rifah. Ya, bunga Rifah Ediati,” jawab Imron berbinar.

Socrates tiba-tiba berdiri dari pokok kayu tempatnya duduk.
“Guru, engkau mau kemana?” tanya kedua muridnya bersamaan.

“Aku pun mau ke hutan ….”

Doa Rontoknya Gigi

“Oh, engkau mau umroh?”
Lelaki itu bertanya padaku, suatu Rabu pagi di kantin kampus.
“Ya, ustadz,” jawabku.

“Bisakah aku titip doa padamu?” tanyanya.
“Oh tentu, tapi tentang apa ustadz?”
“Beberapa hari lalu istriku kecelakaan. Kendaraannya menabrak tiang listrik”
“Innalillahi wainna ilaihi raji’uun,” seruku.
“Alhamdulillah ia tidak terlalu parah, hanya saja giginya rontok, rahangnya bergeser, dan ia tidak bisa bicara sekarang.”
Kemudian lanjutnya, “Hari ini aku mau pulang, kemarin istri sempat mengirim SMS padaku, bunyinya: “Apakah jika nanti kita bertemu, engkau masih mencintaiku yang tak bergigi dan tak bisa bicara ini?””
Ia tersenyum, dan kembali melanjutkan, “Aku mohon engkau mendoakan kami semua dalam kebaikan”

“Ya ustadz,” jawabku tercekat.

Tiba-tiba aku serasa ingin menjura kepadanya.
Menjura bak seorang pendekar kungfu Tiongkok kepada para suhu-nya yang penuh digdaya.
Menjura kepada semua lelaki yang memilih mencoret kata fisik dari daftar syarat cintanya.
Mengganti cinta dari yang banal menjadi cinta yang sublim dan dalam.