Athena, suatu sore.
“Aku akan mengajarkan kalian sebuah hikmah!”
Dua murid Socrates menatap sang guru seiring titahnya terujar melalui angin.
Jubah sang guru terus berkelebat. Warnanya tampak suram menua demi menemani sang pemilik yang masih saja memilih selibat.
“Plato!” panggilnya perlahan. “Pergilah kau ke hutan kecil itu, pilihlah satu saja bunga yang kau anggap tercantik bagimu”
“Baik guru,” jawab Plato.
“Tetapi Plato, sekali kau pilih dan petik setangkai bunga, kau tak boleh lagi petik bunga lainnya, bagaimanapun cantiknya ia”
Plato mengangguk takzim.
Angin masih menderu seiring gegas Plato melangkah ke dalam hutan.
Pinggiran Athena itu tampak sunyi, saat Socrates dan seorang muridnya yang tersisa memilih diam merenung, menunggu Plato.
“Guru!” seruan Plato memecah hening.
“Aku tidak bisa mendapatkannya”, lanjutnya.
Socrates diam mendengar ketika Plato kembali melanjutkan, “Aku sudah berusaha mencarinya, tetapi setiap kali aku menemukan sebuah bunga yang cantik, aku tidak berani memetiknya. Aku pikir, aku akan dapat yang lebih cantik apabila aku masuk lebih dalam.”
“Sampai akhirnya aku sampai ke ujung hutan dan aku tak memetik bunga apapun”
“Begitulah muridku, itulah ibarat usaha manusia dalam mencari pasangan hidupnya” ujar Socrates bijak.
“Manusia takkan pernah berhenti mencari yang terbaik, mengikuti hasratnya untuk memiliki yang tak-seorang-pun-selainnya-
“Apakah itu rahasia selibatmu itu, wahai guru?” tanya satu murid lainnya.
Socrates hanya tersenyum sembari balik bertanya, “Apakah engkau ingin masuk hutan pula, Imron?”
“Kalau engkau mengizinkan, guru”
“Pergilah!”
Diam, kembali menyergap saat Imron melangkah.
Socrates kembali memilih memejam. Sedangkan Plato memilih menggores-gores batu tulisnya. Kelak goresan-goresan itu akan disebut Σωκρατικὸς διάλογος (Dialog Sokratik), kumpulan tulisan dialog murid-murid Socrates dengan guru mereka.
“Guru, aku berhasil!” teriak Imron memecah sunyi.
Setangkai bunga cantik di tangannya tampak melambai. Bau harumnya tersebar bersama angin.
“Oh, bagaimana kau mendapatkannya?” sambut Socrates.
“Ketika masuk hutan, kutemukan bunga cantik ini,” terangnya, “Aku pikir aku bukanlah Plato, maka kuputuskan saja untuk merenung sejenak dan memohon ilham pada Tuhanku.”
“Keyakinan itu lalu datang begitu saja, kemudian kupetik bunga ini,” senyum Imron tampak cerah.
“Imron, apa nama bunga cantik ini?” tanya sang guru.
“Guru, penduduk Athena menyebutnya, Rifah. Ya, bunga Rifah Ediati,” jawab Imron berbinar.
Socrates tiba-tiba berdiri dari pokok kayu tempatnya duduk.
“Guru, engkau mau kemana?” tanya kedua muridnya bersamaan.
“Aku pun mau ke hutan ….”