Pertempuran

— untuk haidar

bintik-bintik kecil itu memang ingin menemanimu
mereka hadir di kaki kecilmu, menyela di lipatan tanganmu
bertahta di punggungmu, menandai wajah lucumu

kutahu gelisah menyakiti tidurmu
menghapus mimpi-mimpi besarmu itu

kau menangis, aku tahu
aku juga
tapi kau tak mau tangisku bukan?

panas itu,
itu dari dirimu bukan?
bukan dari matahari, karena kaulah matahari

ah kulihat genggaman tangan kecilmu
juga kakimu yang menjejak-jejak
merah-merah memecah
pertempuran menggaris tubuh
darahmu mengalir mengular mendenguskan nafasmu menajamkan matamu mengencangkan teriakanmu melajukan kakimu menggemeretukkan gigi-gigimu

kutahu, engkau menang!

riyadh, 26 mei 2009

Takutkah Engkau pada Jarak?

— untuk izza

takutkah engkau pada jarak?

dunia tak memihakmu
ia hanya bersekutu dengan orang-orang dewasa
dan sungguh persekutuan itu kejam
ia bungkam pendapatmu
ia lupakan perasaanmu
ia abaikan adamu
ia ..

kulihat engkau diam
enggan

takutkah engkau pada jarak?
aku yang takut

riyadh, 26 mei 2009

Tiga Cinta, Tiga Cerita

Ia tampak lucu.
Lalu aku katakan: “Haidar, aku mencintaimu.”
Ia masih satu tahunan. Karenanya, balasannya cuma senyuman.
Aku menciumnya.

Ia tampak begitu senang.
Lalu aku katakan: “Izza, aku mencintaimu.”
Ia masih tiga tahunan. Karenanya, ia bisa memberi jawaban.
Ia menciumku.

Ia selalu tampak cantik.
Lalu aku katakan: “Istriku sayang, aku mencintaimu.”
Ia masih tiga puluh tahunan. Karenanya, ia pun memberi balasan.
…………..

*tiba-tiba, semuanya menjadi rahasia…*

The Battle of Ri

Riyadh gives me money …
…. but Rifah gifts me honey
Riyadh grants me Master …
… but Rifah lets me become her Master
Last summer, Riyadh was very hot …
… but Rifah made me cool
This winter, Riyadh is cold …
… but Rifah keeps me warm
They are fightin’ …
… but my heart knows who will win

Aku mencintai

Aku mencintai sabarnya bumi melintasi skala waktu
Aku mencintai kuatnya laut menanggung segala beban
Aku mencintai indahnya langit memajang segala bintang
Aku mencintai matahari yang tak kenal lelah memberi energi
Aku mencintai rembulan yang tak kenal henti berbagi keceriaan

Maka Aku mencintaimu yang menyatukan kelimanya dalam dirimu

Rumah Hidupku. Menurut Wing Kardjo. Menurutku juga.

“Rumah Hidupku”

Kubangun rumah hidupku dari batu, bata, kayu, bambu, tanah air,
tumpah darah, merah putih, biru, kuning, hijau, semua warna. Ada
dana pemerintah, ada bantuan luar negeri, juga barang tentu modal
pertama orang tua. Hidup ini kubangun sendiri, kubentuk coraknya.

Sekaligus majikan dan pembantu, istana dan gudang. Ada botol
kosong dan separuh penuh. Ada gelas jatuh, piring pecah, pena patah.
Tak terhitung kutu dan debu, pakaian, majalah, koran berserakan.
Makanan sembarangan. Suara, bunyi, dari tiap sudut, meledak, berteriak

mengeluh, mengaduh atau nyanyi mendambakan waktu. Ada dipan
lusuh tempat kerja dan istirah. Buku yang tengah dan setengah kubaca
dan yang tak pernah terbuka halaman-halamannya. Tetap gelap, tak

tertangkap sebab jendela pikiran terbuka ke segala arah sedang lampu
menyala, membakar umur. Yang tidur tak bangun karena adzan dan
ayam berkokok. Bikin rumah harus pasang tiang iman yang pokok

(Wing Kardjo)

Lagi-lagi Puisi Sapardi!

Maafkan aku, tapi aku sangat ingin mengulang-ulang membaca dalam diam puisi ini.., untuk istriku..

“Dalam Doaku”

dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak
memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima
cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan
menerima suara-suara

ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku
kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil
kepada angin yang mendesau entah dari mana

dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang
mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap
di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan
mangga itu

magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat
pelahan dari nun di sana, yang bersijingkat di jalan kecil
itu menyusup di celah-celah jendela dan pintu dan
menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi
dan bulu-bulu mataku

dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku yang dengan
sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya,
yang dengan setia mengusut rahasia demi rahasia, yang
tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku

aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai
mendoakan keselamatanmu.

(Sapardi Djoko Damono)

Puisi-Puisi Sapardi Djoko Damono

Kami menyukai puisi. Dan kalau sedang terhinggap cinta, mana lagi kalau bukan puisi-puisi lirisnya Sapardi Djoko Damono yang harus kami kutip?

Lalu puisi Sapardi mana lagi yang harus kami pilih kalau bukan…

“Aku Ingin”

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono, 1989)

atau ini..

“Hujan Bulan Juni”

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

(Sapardi Djoko Damono)

benar kan?