Tidak Ada Jenderal Di Depan Isteri…

oleh Abdullah Haidir

“Bukankah engkau mengaku sebagai utusan Allah..?” kata Aisyah kepada Rasulullah saw penuh cemburu, suatu saat dalam sebuah perjalanan. Pasalnya, Rasulullah saw meminta agar barang-barang yang sedikit di ontanya ditukar dengan barang-barang yang banyak di onta Shafiah (Isteri Rasullah saw lainnya). Karena onta Aisyah gagah sedangkan onta Shafiah lambat. Demikian Al-Haitsami meriwayatkannya dalam kitabnya, Majma Az-Zawaid.

Ada pelajaran berharga dari cuplikan ‘pernak pernik’ rumah tanggal Rasulullah saw di atas.Yaitu bahwa pasangan suami isteri memiliki pola komunikasi yang khas. Kekhasan yang apabila dikelola dengan bijak dapat menjadi kehangatan hidup berumah tangga.

Ucapan Aisyah radhiallahu anha di atas, jika dilihat dari sudut pandang aqidah, jelas sangat bermasalah, karena dapat dipahami meragukan kerasulan Nabi saw. Namun, tidak demikian halnya jika dilihat dari kekhasan pola komunikasi suami isteri. Yang tampak justeru emosi cinta yang terungkap secara verbal dan refleks melampaui batas-batas pemahaman normatif. Karenanya, menyikapi hal tersebut, Rasulullah saw hanya tersenyum, bahkan ketika Abu Bakar hendak menegurnya, beliau memintanya untuk membiarkannya, sambil berkata, ‘Sesungguhnya, sifat cemburunya membuat dia tidak dapat melihat dasar lembah dari ketinggian.’

Di antara bentuk komunikasi suami isteri yang sehat adalah manakala komunikasinya telah bersifat lepas, tidak ‘anggah ungguh’, serta tidak terbelenggu oleh simbol dan kedudukan yang ada pada masing-masing pasangan. Tentu saja, setelah hak dan kewajibannya telah dipahami masing-masing.

Pola komunikasi seperti ini, hanya dapat terwujud jika masing-masing pasangan memainkan perannya secara total dalam kehidupan rumah tangga. Namun hal tersebut bukan sesuatu yang dapat terwujud karena pandai berakting ala bintang film yang justeru banyak gagal dalam kehidupan rumah tangga sesungguhnya, tapi yang dibutuhkan adalah ketulusan cinta dan perasaan saling memiliki.

Maka, seorang isteri, walaupun misalnya dia memiliki jabatan terhormat, namun di rumah, jika komunikasi khas tersebut sudah terbentuk, sang suami bisa dengan santainya berkata, ‘Ma, buatkan teh untuk papa dong…’ Atau, seorang jenderal yang diluar begitu ditakuti bawahannya, di rumah, boleh jadi sang isteri dengan enteng mengomelinya karena pulang kemalaman. Karenanya…. ‘Tidak ada jenderal di depan isteri…..’

Jika banyak bujangan atau gadis yang sedang ‘mencari-cari’ mengangankan calon pendampingnya dengan sederet status dan simbol kehidupan. Maka, ketika sudah berkeluarga, justeru itulah yang sering menjadi kendala dalam membangun komunikasi hangat antar suami isteri. Tidak jarang kehangatan komunikasi itu terganggu, karena status dan simbol-simbol tersebut masih mendominasi atmosfer komunikasi di antara mereka. Justeru ketika itu, yang paling diinginkan suami adalah seorang isteri yang bertindak sebagai ‘isteri’, bukan sebagai dokter, guru, lulusan universitas ternama, anak orang kaya, dll. Begitu pula yang diinginkan isteri dari suaminya.

Suatu saat, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ada seseorang yang ingin mengadukan kepada sang Khalifah tentang sikap isterinya yang suka mengomelinya. Namun setibanya di dekat rumah sang Khalifah, dia mengurungkan niatnya. Apa pasal? Rupanya dari dalam rumah Khalifah, dia mendengar sang isteri sedang memarahi Khalifah. ‘Kalau khalifah saja dimarahi isterinya, apalagi saya…’ pikirnya…

Jika dari ‘omelan’ bisa berbuah kehangatan dalam rumah tangga, apalagi canda tawanya….. ya Allah, kumpulkan kami di surga sebagaimana kami dikumpulkan di dunia.

Riyadh, Jumadal Ula 1431H.

Pertempuran

— untuk haidar

bintik-bintik kecil itu memang ingin menemanimu
mereka hadir di kaki kecilmu, menyela di lipatan tanganmu
bertahta di punggungmu, menandai wajah lucumu

kutahu gelisah menyakiti tidurmu
menghapus mimpi-mimpi besarmu itu

kau menangis, aku tahu
aku juga
tapi kau tak mau tangisku bukan?

panas itu,
itu dari dirimu bukan?
bukan dari matahari, karena kaulah matahari

ah kulihat genggaman tangan kecilmu
juga kakimu yang menjejak-jejak
merah-merah memecah
pertempuran menggaris tubuh
darahmu mengalir mengular mendenguskan nafasmu menajamkan matamu mengencangkan teriakanmu melajukan kakimu menggemeretukkan gigi-gigimu

kutahu, engkau menang!

riyadh, 26 mei 2009

Socratic Problem: Sebuah Surat Cinta

Athena, suatu sore.

“Aku akan mengajarkan kalian sebuah hikmah!”
Dua murid Socrates menatap sang guru seiring titahnya terujar melalui angin.
Jubah sang guru terus berkelebat. Warnanya tampak suram menua demi menemani sang pemilik yang masih saja memilih selibat.

“Plato!” panggilnya perlahan. “Pergilah kau ke hutan kecil itu, pilihlah satu saja bunga yang kau anggap tercantik bagimu”
“Baik guru,” jawab Plato.
“Tetapi Plato, sekali kau pilih dan petik setangkai bunga, kau tak boleh lagi petik bunga lainnya, bagaimanapun cantiknya ia”
Plato mengangguk takzim.

Angin masih menderu seiring gegas Plato melangkah ke dalam hutan.
Pinggiran Athena itu tampak sunyi, saat Socrates dan seorang muridnya yang tersisa memilih diam merenung, menunggu Plato.

“Guru!” seruan Plato memecah hening.
“Aku tidak bisa mendapatkannya”, lanjutnya.
Socrates diam mendengar ketika Plato kembali melanjutkan, “Aku sudah berusaha mencarinya, tetapi setiap kali aku menemukan sebuah bunga yang cantik, aku tidak berani memetiknya. Aku pikir, aku akan dapat yang lebih cantik apabila aku masuk lebih dalam.”
“Sampai akhirnya aku sampai ke ujung hutan dan aku tak memetik bunga apapun”

“Begitulah muridku, itulah ibarat usaha manusia dalam mencari pasangan hidupnya” ujar Socrates bijak.
“Manusia takkan pernah berhenti mencari yang terbaik, mengikuti hasratnya untuk memiliki yang tak-seorang-pun-selainnya-

memilikinya-di-dunia,” lanjutnya.

“Apakah itu rahasia selibatmu itu, wahai guru?” tanya satu murid lainnya.
Socrates hanya tersenyum sembari balik bertanya, “Apakah engkau ingin masuk hutan pula, Imron?”
“Kalau engkau mengizinkan, guru”
“Pergilah!”

Diam, kembali menyergap saat Imron melangkah.
Socrates kembali memilih memejam. Sedangkan Plato memilih menggores-gores batu tulisnya. Kelak goresan-goresan itu akan disebut Σωκρατικὸς διάλογος (Dialog Sokratik), kumpulan tulisan dialog murid-murid Socrates dengan guru mereka.

“Guru, aku berhasil!” teriak Imron memecah sunyi.
Setangkai bunga cantik di tangannya tampak melambai. Bau harumnya tersebar bersama angin.
“Oh, bagaimana kau mendapatkannya?” sambut Socrates.
“Ketika masuk hutan, kutemukan bunga cantik ini,” terangnya, “Aku pikir aku bukanlah Plato, maka kuputuskan saja untuk merenung sejenak dan memohon ilham pada Tuhanku.”
“Keyakinan itu lalu datang begitu saja, kemudian kupetik bunga ini,” senyum Imron tampak cerah.

“Imron, apa nama bunga cantik ini?” tanya sang guru.
“Guru, penduduk Athena menyebutnya, Rifah. Ya, bunga Rifah Ediati,” jawab Imron berbinar.

Socrates tiba-tiba berdiri dari pokok kayu tempatnya duduk.
“Guru, engkau mau kemana?” tanya kedua muridnya bersamaan.

“Aku pun mau ke hutan ….”

Doa Rontoknya Gigi

“Oh, engkau mau umroh?”
Lelaki itu bertanya padaku, suatu Rabu pagi di kantin kampus.
“Ya, ustadz,” jawabku.

“Bisakah aku titip doa padamu?” tanyanya.
“Oh tentu, tapi tentang apa ustadz?”
“Beberapa hari lalu istriku kecelakaan. Kendaraannya menabrak tiang listrik”
“Innalillahi wainna ilaihi raji’uun,” seruku.
“Alhamdulillah ia tidak terlalu parah, hanya saja giginya rontok, rahangnya bergeser, dan ia tidak bisa bicara sekarang.”
Kemudian lanjutnya, “Hari ini aku mau pulang, kemarin istri sempat mengirim SMS padaku, bunyinya: “Apakah jika nanti kita bertemu, engkau masih mencintaiku yang tak bergigi dan tak bisa bicara ini?””
Ia tersenyum, dan kembali melanjutkan, “Aku mohon engkau mendoakan kami semua dalam kebaikan”

“Ya ustadz,” jawabku tercekat.

Tiba-tiba aku serasa ingin menjura kepadanya.
Menjura bak seorang pendekar kungfu Tiongkok kepada para suhu-nya yang penuh digdaya.
Menjura kepada semua lelaki yang memilih mencoret kata fisik dari daftar syarat cintanya.
Mengganti cinta dari yang banal menjadi cinta yang sublim dan dalam.

Sendirinya Seorang Lelaki

Layar chat facebook itu tiba-tiba muncul.

“Mengapa tiba-tiba aku merasa sendiri?”, tertulis di layar.

Lelaki itu, tiga hari lagi akan menikah.
Sekarang, ia telah melewati langkah 27 tahun.
Dua, tiga tahun lampau hasrat menikahnya telah begitu menggelora.
Kini dalam hitungan jam, si Hafizh Qur’an itu akan memenuhinya.

“Ya, semua lelaki mengalaminya,” jawabku.

“Tapi, mengapa ada rasa semacam ini?”

Aku tersenyum, teringat rasa yang sama lima tahun silam.
“Lelaki pada mulanya hidup untuk sendiri.”
“Ia menyandar pada kekuatannya untuk menghempas semua tantangan, menakluk segala macam seteru.”
“Sampai sebuah ujung, ketika seluruh penantangnya terhempas, ia bertemu dengan makhluk baru… perempuan.”
“Hiruk pikuk pertempuran menghilang, puja-puji bak pahlawan menyingkir, lelaki itu harus menghadapinya… sendiri.”

“Beratkah?”

“Perempuan, tidak menginginkan engkau mengalahkannya. Ia menantangmu untuk memimpinnya, menuntutmu untuk membawa dirinya dan anak turunnya melewati batu-batu, tanjakan gelombang, tikungan tajam, menuju apa yang harus disebut sebagai ‘bahagia’.”

Lelaki itu terdiam. Ia, dalam tubuh kurusnya, sungguh lelaki yang keras. Bertahun, keluarganya, lingkungannya, dan teman-temannya telah mendidiknya dengan keras.

“Aku tiba-tiba ingin menangis..”

“Menangislah, itu aku akan melegakanmu..”

“Tapi, di sebelahku ada Irfan… ”

“Oh, ya jangan…”

Amplop Coklat: Sebuah Drama

Sore itu aku menemuinya di sebuah masjid kecil.
Kami berbincang di beranda masjid, menikmati semilir angin tepi kota Yogya, di samping rumahnya.

Di tanganku, ada amplop coklat.
Isinya biodata-ku sendiri, dilampiri dengan sesuatu yang oleh teman-temanku disebut “proposal”.

“Kau tahu? Teman-temanmu ada saja yang unik dalam urusan ini,” katanya.

“Misalnya?” tanyaku.

“Dalam keinginan misalnya. Ada yang menginginkan yang ‘cantik’.”
“Tapi kau tahu bukan? Mendefinisikan ‘cantik’ itu begitu sulit. Menurut siapa? Menurutku atau menurut temanku? Ini permintaan yang sulit buatku.”
“Ada lagi yang menginginkan ‘putih’. Aduh, bagaimana aku bisa tahu?”
“Bahkan, ada yang menginginkan ‘leher jenjang’..” keluhnya.

“Oh, ya?” tanggapku, pura-pura tidak tahu.

Aku tersenyum. Aku tahu persis sosok lelaki di hadapanku itu. Bertahun sudah ia kenyang melayani permintaan para bujangan. Konon, di gudangnya yang entah di mana ia menyimpan nama-nama perempuan shalihat yang siap menikah. Maka, kepadanyalah banyak bujangan berharap.

“Aku sering dituduh tidak kooperatif,” lanjutnya.
“Hanya karena aku dan teman-temanku tidak memfasilitasi permintaannya.”
“Ada yang ingin mendapat keluarga kaya, sedangkan ia tidak mampu, dan lalu kami khawatirkan soal kesekufuannya, kemudian ia membenci kami karena keputusan kami.”
“Ada yang sudah menyebutkan nama dalam permintaannya, yang membuat kami bertanya-tanya: “lha kami terus diminta ngapa?””
“Ada pula yang berbelas kali mengembalikan tawaran kami, membuat kami makin kebingungan.”

“Kami”, begitu katanya. Ya, karena memang ia tidak mengurusinya sendiri. Ia memusyawarahkannya dengan beberapa temannya yang ia percaya.
Aku hanya diam mengangguk. Ia tampak ingin bercerita lebih banyak.

“Padahal, kalau mereka enggan, mereka bisa mencarinya sendiri, tanpa lewat kami.”
“Kami hanya bisa melakukan yang terbaik yang kami bisa. Kami ikhlas. Kami tidak dibayar untuk ini.”
“Kepercayaan, cuma itu yang kami butuhkan.”
“Sedang kami percaya bahwa mereka yang telah dididik dengan nilai-nilai Islam itu sudah menggusur kecengengan mereka, dan menggantinya dengan tekad perjuangan.”

“Eh, bagaimana denganmu?” ia menepukku tiba-tiba.

Lalu dengan malu-malu, kuangsurkan amplop coklat itu, “Ini, ustadz..”

Ia kemudian tersenyum dan bertanya, “Kamu nggak seperti mereka kan?”

Aku cuma tersenyum, atau tepatnya, nyengir….

Lha, Biasanya Makan Apa?

Ia memutuskan menikah ketika masih mahasiswa.
Sebuah gabungan antara kenekatan dengan daya juang yang luar biasa.

Saat melamar, sang calon mertua tampak ragu-ragu dengan latar belakang dan penampilannya.
Ah tentu saja, sebagai orang tua, ia tidak akan serahkan masa depan anak gadisnya secara serampangan pada pemuda antah berantah itu.

Maka ia bertanya,
“Engkau belum lulus, pekerjaan pun belum jelas. Lalu dengan apa kau mau kasih makan anakku?”

Pemuda itu dengan gagahnya malah balik bertanya:
“Lha, biasanya makan apa Pak?”

Sang mertua tertawa.
Lalu, entah mengapa, ia tiba-tiba menjadi percaya pada sang pemuda.
Ia percaya bahwa bersama anak muda itu, anak gadisnya akan tetap makan…

Kijang Innova: Panjangnya sebuah Cinta

Menikah adalah sebuah jalan panjang. Amat panjang.
Dan pasangan muda itu tampak menikmatinya.

Mereka dulu menikah tanpa punya sesuatu apa.
Sampai suatu tekad, bahwa mereka akan menanggung segalanya bersama.
Atas nama cinta, mereka kumpulkan -setiap hari- receh-receh kecil yang mereka punya.
Mereka kumpulkan dalam sebuah celengan. Mereka sebut itu celengan cinta.
Karena, setiap kali ada receh masuk, mereka akan saling berkata: aku mencintaimu.

Dan mereka punya cita-cita sederhana: ingin memiliki sepeda.

Cinta mereka begitu sungguh-sungguh. Dua tahun berlalu celengan cinta mereka penuh.

Mereka membeli sepeda. Mereka sebut itu: sepeda cinta.

Tekad, kembali lahir dari cinta mereka. Kali ini mereka tancapkan: sepeda motor.

Mereka bukan membenci sepeda, tetapi bagaimanapun sepeda tetaplah sepeda.
Sepeda membuat bermesra-mesra ataupun bersilangkata di atasnya menjadi pekerjaan yang sungguh sangat melelahkan.
Mulut capai, kaki lemas.

Di atas sepeda cinta itu, cinta berubah menjadi pegal.

Tetapi sepeda motor bukanlah sepeda onthel, dan itu artinya mereka harus saling mencintai lebih lama.

Karena itu, kembali kata-kata cinta itu menemani hari-hari mereka.
Setahun, celengan cinta mereka penuh.
Tapi tentu tak ada sepeda motor yang terbeli dengan dua juta rupiah bukan?
Apa lagi selalu saja ada model baru. Dan itu selalu berarti harga yang lebih tinggi.
Untuk itu, mereka menambah celengan cinta mereka itu.

Lima tahun berlalu.
Kesungguhan cinta mereka tampak luar biasa.
Maka ujungnya adalah mesra, saat sang istri menggelayut di boncengan Honda Supra.
Tapi mereka lebih suka menyebutnya: Honda Cinta.
Itu tanda tujuh tahun cinta mereka.

Ah, tapi kau pun tahu bukan?
Di musim hujan, bermesra-mesra di atas Honda Supra itu berbahaya.
Terlalu mesra, sepeda motor bisa terpeleset celaka.
Di musim panas, bersilangkata sembari mengendarainya adalah bencana.
Ini adalah panas yang bertemu panas. Jadinya: amat panas.

Dan itu namanya cinta yang tergadai cuaca.

Tapi cinta tetaplah cinta.
Celengan-celengan cinta itu terus saja menambah teman-temannya.
Receh-receh rupiah rutin bersekutu.
Sedang kata-kata cinta terus mengalir menuju muara.

Maka untuk sebuah cinta yang lebih kekal dan panjang,
mereka sekarang menancap sebuah tekad baru:
“Kijang Innova!!”

Tiga Cinta, Tiga Cerita

Ia tampak lucu.
Lalu aku katakan: “Haidar, aku mencintaimu.”
Ia masih satu tahunan. Karenanya, balasannya cuma senyuman.
Aku menciumnya.

Ia tampak begitu senang.
Lalu aku katakan: “Izza, aku mencintaimu.”
Ia masih tiga tahunan. Karenanya, ia bisa memberi jawaban.
Ia menciumku.

Ia selalu tampak cantik.
Lalu aku katakan: “Istriku sayang, aku mencintaimu.”
Ia masih tiga puluh tahunan. Karenanya, ia pun memberi balasan.
…………..

*tiba-tiba, semuanya menjadi rahasia…*